Di era digital yang semakin canggih, pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), termasuk kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI), di Indonesia masih cenderung bersifat konsumtif. Banyak individu dan institusi lebih fokus menikmati teknologi daripada mengembangkannya secara produktif. Fenomena ini menunjukkan bahwa transformasi digital di Indonesia belum sepenuhnya berakar pada strategi jangka panjang yang berkelanjutan.
Kontras dengan Negara Maju
Sementara Indonesia masih terpukau oleh gemerlap teknologi, sejumlah negara maju justru mulai mengambil langkah kritis. Mereka mengevaluasi ulang dampak penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari, terutama di dunia pendidikan.
Contohnya, Swedia pada September 2023 memutuskan untuk mengurangi penggunaan perangkat digital di sekolah dasar. Mereka kembali menekankan pentingnya buku cetak dan aktivitas menulis tangan, menyusul kekhawatiran terhadap penurunan konsentrasi dan kemampuan membaca anak-anak akibat terlalu banyak menatap layar.
Langkah serupa diambil Finlandia pada 2024 dengan melakukan uji coba penghapusan perangkat digital di beberapa sekolah. Hasilnya cukup signifikan: pemahaman siswa meningkat, dan gangguan dari media sosial serta gim digital menurun drastis.
Indonesia di Titik Persimpangan
Kondisi ini menyisakan pertanyaan besar bagi Indonesia. Di satu sisi, antusiasme terhadap AI terus tumbuh. Namun di sisi lain, literasi digital kita masih belum matang. Banyak yang belum memahami esensi dari penggunaan teknologi, apalagi menyadari potensi risikonya terhadap etika, privasi, dan integritas sosial.
Tanpa landasan pemahaman yang kuat, pemanfaatan AI dikhawatirkan hanya akan memperkuat ketergantungan, bukan kemandirian. Indonesia perlu bertanya secara mendalam: teknologi ini sebenarnya kita gunakan untuk siapa dan dengan tujuan apa?
Membangun Peta Jalan Pendidikan AI yang Beretika
Belajar dari pengalaman negara lain, Indonesia harus berhati-hati dalam menyusun strategi adopsi AI, khususnya di sektor pendidikan. Kita tidak hanya membutuhkan teknologi untuk mempercepat pembelajaran, tetapi juga harus memastikan bahwa perkembangan anak sebagai individu tetap menjadi prioritas utama.
Anak-anak harus dikenalkan pada AI bukan sebagai jawaban atas semua masalah, melainkan sebagai alat bantu yang perlu dipahami secara kritis. Mereka perlu diajak untuk berpikir mandiri, memahami bahwa AI bisa saja memiliki bias, dan tidak selalu netral. Di sinilah pentingnya pendidikan yang menyatukan kecakapan digital dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Nilai-nilai yang Perlu Ditekankan
-
Berpikir Kritis – Anak harus dibiasakan untuk bertanya: siapa yang membangun sistem ini, untuk kepentingan siapa, dan apa dampaknya bagi sesama?
-
Etika Digital – Penggunaan teknologi harus dibarengi kesadaran moral, seperti menghargai privasi dan menolak manipulasi informasi.
-
Empati dan Interaksi Manusiawi – Di tengah dunia yang makin terotomatisasi, anak-anak harus tetap belajar mendengar, merasakan, dan berinteraksi secara hangat.
-
Kesadaran Ekologis – Teknologi harus digunakan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan generasi mendatang.
-
Inklusivitas – Pendidikan berbasis AI harus merangkul semua lapisan masyarakat, bukan hanya mereka yang punya akses perangkat dan internet.
Menuju Generasi Hebat 2045
Memperingati Hari Anak Nasional 2025 dengan tema “Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045”, kita diajak merenung lebih dalam: apakah kita sedang menyiapkan generasi yang mampu menguasai teknologi, atau justru membentuk anak-anak yang menjadi korban dari dominasi digital?
Masa depan bangsa tidak hanya ditentukan oleh seberapa canggih teknologi yang dimiliki anak-anak, tetapi oleh kekuatan karakter dan nilai yang mereka pegang. Maka dari itu, pendidikan AI yang ideal bukan hanya mengajarkan how to use, tetapi juga when to stop, why to trust, dan for whom we innovate.
Penutup
Indonesia tidak bisa hanya berlari mengejar kemajuan teknologi tanpa arah. Kita perlu memastikan bahwa transformasi digital berjalan selaras dengan pembangunan karakter dan nilai kemanusiaan. AI boleh saja semakin pintar, tetapi yang menjadikan Indonesia benar-benar kuat adalah manusia-manusia merdeka yang bijak dalam menggunakan teknologi.